Hukum Perceraian
Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa pada tahun 2022 terdapat 516.344 kasus perceraian di Indonesia, hal itu meningkat 15,3% dibandingkan pada tahun 2021 yakni sebanyak 447.743 kasus.
Secara normatif peraturan yang menjadi landasam regulasi perceraian adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974, akan tetapi di dalamnya tidak ditemukan interpretasi mengenai istilah perceraian. Oleh karena itu sebelumnya perlu didefinisikan terlebih dahulu makna dari perceraian tersebut. Menurut R. Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak selama perkawinan. Sedangkan pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berasal dari suku kata cerai, dan perceraian menurut bahasa berarti perpisahan, perihal bercerai antara suami dan istri, perpecahan, menceraikan.
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya (bagi suami-isteri yang beragama islam), atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain. Apabila perceraian ini terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat – akibat terhadap orang -orang yang berkaitan dalam suatu rumah tangga, akibat hukum dari perceraian ini tentunya menyangkut pula terhadap harta kekayaan selama perkawinan dan anak hasil pernikahan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa pada tahun 2022 terdapat 516.344 kasus perceraian di Indonesia, hal itu meningkat 15,3% dibandingkan pada tahun 2021 yakni sebanyak 447.743 kasus. Sebelum dijelaskan mengenai dampak/akibat apa saja yang dapat terjadi ketika perceraian dilakukan, terdapat beberapa alasan sah perceraian dalam perkawinan. Menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan, adapun alasan – alasan sah yang dapat dijadikan dasar percerian dalam perkawinan adalah sebagai berikut :
- Salah satu pihak, suami atau isteri, berbuat zinah, pemabuk, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Alasan ini dapat digunakan untuk mengajukan gugatan perceraian, karena bila seseorang telah berbuat zina berarti dia telah melakukan pengkhianatan terhadap kesucian suatu perkawinan. Termasuk perbuatan menjadi pemabuk, dan penjudi yang merupakan perbuatan melanggar hukum agama dan hukum positif.
- Salah satu pihak (suami atau istri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa mendapat izin dari pihak lain tanpa alasan yang sah.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat, yang dapat membahayakan pihak lain. Poin ini menitik beratkan pada kemaslahatan atau manfaat dari perkawinan, dibandingkan dengan keselamatan invidu atau salah satu pihak, bila suatu perkawinan tetap dipertahankan namun akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik jika perkawinan itu diputus dengan perceraian.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa bila ikatan perkawinan dipengaruhi faktor -faktor jasadiah, terutama kebutuhan biologis.
- Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Setelah memahami alasan perceraian sebagaimana yang telah dijabarkan diatas. Berikut merupakan catatan yang menjadi Akibat Hukum Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berikut merupakan akibat hukum yang akan terjadi daripada peristiwa perceraian itu sendiri yakni:
A. Terhadap Anak
Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah terjadi perceraian, bukan berarti kewajiban suami isteri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah umur berakhir. Suami yang menjatuhkan talak pada isterinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya. Lebih lanjutPasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa akibat dari perceraian adalah :
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Kemudian lebih lanjut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa menyebutkan bahwa :
- Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;
- Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
B. Terhadap Harta Bersama
Pasal 37 Undang-undang Perkawinan menjelaskan apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Berdasarkan penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya (dalam hal ini hukum perjanjian). Memperhatikan Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian. Adapun yang dimaksud kata “Diatur” dalam pasal ini tiada lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum yang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada. Apabila menilik kembali kepada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang Perkawinan memberi jalan pembagian sebagaiman telah disebutkan sebelumnya yakni :
- Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian, misal bagi suami-isteri yang beragama islam, maka dapat berlaku ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI);
- Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;
- Atau hukum-hukum lainnya.
C. Terhadap Nafkah
Ketika belum bercerai, seorang suami yang juga seorang ayah bagi anaknya memang memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah pada anak dan istrinya. Seorang suami atau ayah yang melakukan penelantaran, bisa dikenai Pasal 49 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau UU PKDRT dengan hukuman pidana paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, salah satu akibat dari perceraian adalah yang dijelaskan dalam Pasal 41 Nomor 1 Tahun 1974 UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut mengatur bahwa:
- Kedua orang tua wajib untuk mendidik dan memelihara anak-anaknya, sesuai dengan kepentingan anak; jika ada perselisihan atas penguasaan anak, maka Pengadilan akan memberikan keputusannya.
- Ayah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan pemeliharaan yang dibutuhkan; jika ayah tidak mampu untuk memberikan kewajiban tersebut maka Pengadilan akan memutuskan sang ibu untuk membantu pembiayaannya.
- Pengadilan bisa mewajibkan ayah atau mantan suami untuk memberikan biaya kehidupan dan atau menentukan kewajiban untuk mantan istri.
Adapun lebih lanjut Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengaturan yakni sebagai berikut:
1) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2) Orang tua mewakili anak tersbeut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan
Jadi, seorang ayah memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah pada anaknya setelah resmi bercerai jika anak tersebut belum berusia 21 tahun. Sebagai landasan juga, ini dijelaskan dalam Pasal 149 huruf d Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa bekas suami atau seorang ayah wajib memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang masih belum berumur 21 tahun.
Penyelesaian Hukum Terhadap Permasalahan Perceraian
Perceraian merupakan salah satu peristiwa hukum yang terjadi antara sepasang suami istri yang sebelumnya memiliki ikatan pernikahan dan memilih memutuskan hubungan perkawinan karena dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap istrinya yang perkawinannya dilangsungkan berdasarkan hukum islam, yang dapat pula digunakan peristilahan cerai talak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah memberikan pengaturan terkait penyelesaian hukum perceraian yang hanya bisa dilakukan melalui meja hijau, hal itu persis diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
- Menjelaskan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak kemudian lebih lanjut.
- Mengatur melakukan perceraian itu harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang perkawinan tersebut diatas dapat diartikan bahwa di Indonesia menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Oleh karena itu, majelis hakim biasanya akan menggali permasalahan antara kedua belah pihak dan harus diputuskan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang dinilai dapat menjadi pertimbangan kuat dilakukannya perceraian. Harus ditegaskan bahwa perceraian melalui pengadilan merupakan satu-satunya upaya hukum yang dapat dilakukan, hal itu karena secara normatif telah diatur secara tegas dalam undang-undang perkawinan terkait penyelesaian atau upaya hukum yang bisa ditempuh untuk memutus hubungan perkawinan melalui ranah pengadilan. Oleh karena itu, jangan sampai terjadi peristiwa perceraian akibat ketidaktahuan hukum dari pihak yang berperkara.
Meskipun perceraian merupakan bentuk upaya hukum terakhir yang bisa ditempuh setelah proses perdamaian tidak berlangsung baik, namun perceraian di depan pengadilan dapat terus dilanjutkan, hal itu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam menjadi keharusan dan kewajiban yang harus dilakukan oleh keluarga yang sudah tidak memiliki keharmonisan dalam rumah tangga. Dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah menegaskan bahwa sudah menjadi tugas hakim apabila upaya perdamaian pra perceraian harus dilakukan, hakim dipandang perlu memberikan nasihat bahkan meminta bantuan pihak lain untuk turut memberikan nasihat kepada pihak yang berperkara.
Secara normatif memang tidak terdapat ketentuan yang mengatur perihal pencegahan perceraian atau langkah preventif yang bisa ditempuh untuk mencegah perceraian. Namun, pada praktiknya terdapat beberapa pencegahan sistematis yang dapat dilakukan sebelum memasuki masa perceraian, diantaranya yakni:
- Pendewasaan usia perkawinan
- Memperkuat dasar kepribadian orang dewasa yang sudah siap menikah mengenai resiko dan pencegahan penyakit
- Berusaha mencari cara pencegahan ketidakharmonisan keluarga
- Pendampingan rehabilitatif untuk meminimalisir dampak buruk perceraian
- Memantau kelanjutan pendidikan anak
- Penguatan diri untuk membangun karakter dan motivasi hidup
- Kerjasama lintas sektor bersama dinas Pendidikan terkait
- Berkomitmen untuk bekerjasama dalam pengasuhan anak walaupun sudah bercerai
Peran Lawyer Dalam Perkara Perceraian
Keberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat memberikan pengaturan dan kewenanangan baik pada peradilan pada umumnya atau peradilan agama yang menangani permasalahan perceraian. Seorang advokat yang berperkara dalam ranah perdata atau khususnya dalam berperkara di pengadilan agama tidak berperan sebagai kuasa hukum bagi pihak yang berperkara melainkan sebagai kuasa khusus, karena hanya menangani perkara perdata bukan pidana.
Dalam praktik beracara di pengadilan agama seorang advokat harus memenuhi persyaratan secara normatif, diantaranya yaitu:
- Harus mempunyai surat kuasa khusus
- Ditunjuk sebagai wakil atau kuasa dalam surat gugatan
- Ditunjuk sebagai wakil atau kuasa dalam catatan gugatan apabila diajukan secara lisan atau tulisan
- Ditunjuk oleh penggugat atau tergugat sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan
- Telah terdaftar sebagai advokat
Kemudian pada praktiknya advokat sebagai penerima kuasa khusus di muka pengadilan memiliki beberapa tugas dan fungsi dalam perkara perceraian, diantaranya yakni:
- Mempercepat penyelesaian perkara administrasi yang berkaitan dengan hukum acara pengadilan agama
- Membantu menghadirkan para pihak yang berperkara sesuai jadwal persidangan yang ada
- Memberikan pemahaman hukum yang berkaitan dengan duduk perkara dan permasalahan hukum yang ada
- Mendampingi para pihak yang berperkara di pengadilan agama
- Mewakili para pihak yang tidak dapat hadir dalam proses persidangan lanjutan
- Menjunjung tinggi sumpah advokat, kode etik profesi, dan menjalankan peran advokat dalam pengadilan
Pada akhirnya harus diakui apabila perkara perceraian merupakan salah satu peristiwa hukum yang akan menimbulkan peristiwa hukum lainnya, system dan prosedur penanganan perceraian sendiri telah diatur secara spesifik baik dalam Undang-Undang Perkawinan atau Undang-Undang Pengadilan Agama. Pentingnya peran advokat sebagai pihak yang turut melaksanakan kegiatan advokasi, serta memperjuangkan dan memfasilitasi pihak yang berperkara menjadikan advokat sebagai pihak yang membantu mengupayakan penyelesaian permasalahan yang ada, serta membantu mewujudkan kesetaraan hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Konsultasi masalah korupsi pada perusahaan bisa Telp / WA : 081280090101
Virby Law Firm
Equity Tower lantai 49 Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 SCBD Jakarta 12190
Telp : (021) 29651231
Email : info@virbylawfirm.com
Website : www.virbyLawfirm.com
Referensi :
- Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal 42.
- Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal 200.
- Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1991), hal 188.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Virby Law Firm
Equity Tower lantai 49 Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 SCBD Jakarta 12190
Telp : (021) 29651231
Virby – Cabang Kelapa Gading
Rukan Plaza Pacifik Blok A.4, No. 84 lantai 3 Jl. Boulevard Barat Raya, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Telp : (021) 2555-5620
Virby – Cabang Batam
Adhya Building Tower Lantai 3 Komplek Permata Niaga
Blok A No.1
Jl. Jendral Sudirman
Batam 29444
Telp : (0778) 4888000
Virby – Cabang Bali
Benoa Square
Lantai 2 Jl. Bypass Ngurah Rai No. 21 A Kedonganan Kuta Badung Bali
803610
Telp : (0361) 2003229